Kamis, 06 Agustus 2009

Tak Perlu UU Pornografi

SENI pertunjukan, baik yang ditayangkan di televisi maupun di gedung-gedung kesenian, tidak selamanya bisa menuntun. Tidak jarang seni pertunjukan bisa menjerumuskan dan menjadi pertentangan di tingkat publik. Sebut saja kasus goyang ngebor Inul Daratista yang menerima sorotan beragam karena perspektif yang beragam dari masyarakat. Seberapa besar sebetulnya tontonan tidak lagi menuntun masyarakat ke jalan yang benar, berikut petikan wawancara dengan aktor lulusan ISI Yogyakarta Drs. Winsa Prayitno.

Kesenian acap dianggap bisa memperhalus budi pekerti, memberikan koridor etika, moral dan lain-lain. Faktanya, banyak kritik yang diarahkan kepada tontonan (baca: karya seni) yang dianggap sudah tidak bisa menuntun.

Seni pertunjukan menjadi tidak beretika dan bermoral, lahir karena ketidakmampuan pekerja seni ataupun publik untuk menyikapi seni pertunjukan itu. Menjadi tidak beretika atau tidak bermoral karena ketika menghadirkan ekspresi senimannya ke atas seni pertunjukan cenderung vulgar. Padahal, semestinya seni pertunjukan, yang sekalipun menghadirkan lekuk tubuh, sepanjang diimbangi dengan teknik tertentu tidak menjadi masalah. Tentu saja tidak bisa serta merta kalau bicara etika seni pertunjukan tidak sama persis dengan etika sehari-hari. Dalam seni pertunjukan dikenal selain estetis, juga logis dan etis. Tentu saja estetika, logika dan etika di panggung, aplikasinya berbeda dibandingkan dengan kehidupan sehari-hari, walaupun estetika, logika dan etika panggung, bersumber dari kehidpan sehari-hari. Persoalannya, bagaimana mengemas dan menghadirkan secara jujur dengan keterampilan dan teknik memadai agar tidak memgganggu moralitas.

Selama ini sudut pandang kesenian dilihat dari beragam perspektif. Acapkali perspektif yang digunakan adalah landasan agama. Bagaimana hubungan hukum agama dan kesenian dalam kasus semacam ini?

Karya seni kan lahir dari pergulatan seniman dan pencipta seni di tengah lingkungannya, baik lingkungan sosial, psikologis, religi, emosi, dan lain-lain. Dari pergulatan itu, seniman punya kegelisahan mengekspresikan apa yang diakrabi di lingkungannya, sehingga muncul gagasan-gagasan yang bisa diekspresikan dalam bentuk-bentuk artistik. Menjadi tidak moralis dan etis, itu sebatas kemampuan pergulatan seniman. Mungkin baru sejauh itu, atau bisa jadi secara teknis tidak bisa menghadirkan secara utuh kegelisahan artistiknya. Sebagai contoh, seorang seniman punya pengetahuan agama dengan kadar sekian persen, ekspresinya tidak beda jauh dari pemahaman agamanya. Akan menjadi persoalan ketika ada rekayasa seniman di dalam menghadirkan karya seninya. Di sisi lain, ada juga rekayasa dari publik. Padahal seni pertunjukan harus dilihat secara objektif.

Apakah belum adanya batasan etika berkesenian karena adanya pemahaman agama yang berbeda?
Bisa jadi begitu. Karena masing-masing punya latar belakang, sehingga ketika mengekspresikan ada perspektif berbeda, misalnya kemampuan agamanya. Masing-masing punya alasan dan latar belakang untuk berargumentasi tentang keberadaan bentuk-bentuk seni pertunjukan. Secara etika di panggung jelas akan cukup berbeda kalau secara artifisial diartikan sebagai etika sehari-hari. Itu jelas akan bertabrakan selamanya.

Masalahnya bagaimana menyikapi hal semacam itu di negara kita yang plural ini?
Bagi saya, kesenian dan karya seni dalam bentuk apa pun boleh diekspresikan dan dihadirkan. Kemudian yang paling penting adalah publikasinya. Tentu saja ini terletak pada kemampuan stage manager atau dramaturg. Tentu saja seorang manajer atau dramaturg akan tahu persis satu bentuk kesenian tertentu akan dipentaskan di tepat tertentu. Fenomena Inul Daratista menjadi kehebohan karena banyak orang menjadi shock ketika keberadaan Inul tiba-tiba menggebrak dengan (goyang) model barunya. Saya justru melihat karena ini model baru sehingga orang shock. Padahal hampir semua penyanyi dangdut itu erotis. Kalau konsekuen, kenapa jaipongan tidak dinilai erotis. Erotis itu kan yang menghadirkan lekuk tubuh dengan busana ketat dan pantat menonjol.

Apa itu artinya etika seni pertunjukan masih belum jelas batasan-batasannya? Karena itu apakah perlu UU pornografi atau dibiarkan saja lepas?

Kesenian kan bagian dari ekspresi, jadi biarkan saja lepas. Pada akhirnya orang akan memilih. Memang pada awalnya yang berkompeten adalah manajer dan senimannya sendiri yang harus mampu menghadirkan karya seni untuk masyarakat yang mana. Tidak bisa ini dihilangkan karena tidak mungkin. Bagaimana pun, publik di Indonesia beragam. Mungkin ada yang bilang erotis dan ada yang bilang tidak. Di satu sisi untuk memenuhi kebutuhan keberagaman, yang lain untuk memenuhi tataran masyarakat kita.

Sebetulnya apa implikasinya jika UU pornografi ditetapkan?
Nanti akan serba repot, serba membatasi seni pertunjukan itu sendiri. Saya yakin, apa pun aturannya, ketika berekspresi, seseorang akan mengekspresikan dengan apa adanya. Bukan berarti seniman antiperaturan. Tetapi seniman mengekspresikan sepenuh dirinya karena kejujurannya. Jikapun UU pornografi diberlakukan, aturan pada soal publikasinya saja, dan tidak sampai membatasi ekspresi.

Pewawancara: Riyanto Rabbah

0 komentar: